Blogger Template by Blogcrowds.

Memunculkan Equation Editor

Equation kadang penting-penting susah, tapi saat lagi pengen nyari entah dmn
saya mencoba agar bisa memunculkannya

1. Cara Manual

1. Klik menu Insert – Object
2. Klik tab Create New
3. Klik Microsoft Equation 3.0 (tergantung versinya, kebetulan yang saya punya versi 3.0)
4. Klik OK
2. Cara Otomatis
1. Klik menu Tools – Customize
2. Klik tab Commands
3. Pada kolom Categories, pilih Insert
4. Pada kolom Commands, pilih Equation Editor
5. Drag Equation Editor ke tempat yang kita inginkan, misalnya disamping menu Help
6. Close

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ketergantungan antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lain saling mendorong terciptanya kerjasama internasional dimana norma-normanya dalam konteks hubungan internasional modern  dirumuskan dalam perjanjian-perjanjian internasional. Perbedaan falsafah atau pandangan hidup, kebudayaan, ras, agama atau kepercayaan dan juga masalah-masalah lain tidak lagi menjadi faktor penghalang hubungan dan kerjasama antar negara. Demikian pula halnya dengan kemajuan bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang memiliki dampak baik positif maupun negatif  menghendaki negara-negara mencari titik-titik persamaan melalui kerjasama internasional. Semua perbedaan-perbedaan dimaksud dirumuskan dalam bentuk hak-hak dan kewajiban-kewajiban masing-masing Negara yang disepakati di dalam perjanjian internasional. [1]Salah satu faktor penting pendorong diadakannya hubungan, kerjasama atau perjanjian internasional adalah hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (dalam literature juga disebut ekosob, selanjutnya disebut hak ekosob) sebagaimana  dijamin dalam berbagai naskah PBB seperti: Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) tahun 1948 dan International Covenant on Civil and Political Right (1966).  
Hak ekonomi, sosial dan budaya adalah bagian daripada Hak Asasi Manusia (HAM) yang harus dipenuhi karena termasuk rumpun hak positif yaitu pemenuhan hak ini hanya akan tercapai jika peranan negara dalam bidang itu menunjukan tanda plus. Dengan kata lain, pemenuhan hak itu membutuhkan peranan aktif negara. Absennya peranan negara akan berarti hak ini diabaikan.
Hak positif atau hak ekonomi, sosial dan budaya sebenarnya lebih merupakan rumusan mengenai kebutuhan asasi manusia (human needs). Setiap manusia memiliki kebutuhan asasi, misalnya   makan, berpakaian, mendapatkan pendidikan, pelayanan kesehatan serta tempat tinggal yang layak. Untuk memenuhi setiap kebutuhan itu mutlak diperlukan materi tertentu. Orang hanya bisa memuaskan rasa laparnya dengan makanan, untuk membalut tubuhnya ia perlu pakaian, untuk pendidikan ia perlu sekolah. Jika materi itu tidak tersedia, kebutuhan tadi tidak bisa dipenuhi. Tanpa makanan orang bisa menderita kelaparan, tanpa pendidikan orang buta aksara. Tapi untuk membeli kebutuhan itu, perlu uang. Untuk mendapatkan uang, harus bekerja. Demikian seterusnya.
Menurut konteks HAM sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa pemenuhan semua hak-hak ekonomi dan sosial budaya dimaksud menjadi tugas dan kewajiban negara. Konstitusi dan undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia telah mengatur hal yang sama dalam pasal 71 Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi,  menegakan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur  dalam Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang.diterima oleh negara Republik Indonesia. Pasal 72 Kewajiban dan tanggungjawab pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 71, meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain.Mengingat terbatasnya kemampuan setiap negara, baik keterbatasan sumber daya alam, ilmu pengetahuan dan peradaban memaksa negara untuk mengadakan perjanjian-perjanjian internasional dengan negara lain guna memperoleh kebutuhan-kebutuhan tersebut. Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes berpendapat bahwa  karena adanya pembagian kekayaan alam yang tidak merata; adanya kepentingan perniagaan yang bertujuan mempertukarkan hasil bumi dengan hasil industri.[2]
Menurut Hairansyah berkaitan dengan hak ekosob bahwa: Paling tidak, ada tiga alasan kenapa hak ekonomi, sosial, dan budaya yang selanjutnya disebut ekosob mempunyai arti sangat penting yaitu.        1). Hak ekosob mencakup berbagai masalah paling utama yang dialami manusia sehari-hari: makanan yang cukup, pelayanan kesehatan dan perumahan yang layak adalah di antara kebutuhan pokok (basic necessities) bagi seluruh manusia. ratusan juta orang di seluruh penjuru dunia tidak mempunyai akses terhadap kebutuhan pokok mereka, apalagi mempengaruhi kebijakan penguasa tentang survival mereka sehari-hari.
2). Hak ekosob tidak bisa dipisahkan dengan HAM lainnya: interdependensi HAM adalah realitas yang tidak bisa dihindari saat ini. Misalnya, hak untuk memilih dan kebebasan mengeluarkan pendapat akan tidak banyak artinya bagi mereka yang berpendidikan rendah karena pendapatan mereka tidak cukup untuk membiayai sekolah.
3). Hak ekosob mengubah kebutuhan menjadi hak: seperti yang sudah diulas di atas atas dasar keadilan dan martabat manusia, hak ekonomi sosial budaya memungkinkan masyarakat menjadikan kebutuhan pokok mereka sebagai sebuah hak yang harus diklaim (rights to claim) dan bukannya sumbangan yang didapat (charity to receive).[3]
Hak-hak ekosob adalah hak dasar manusia yang harus dilindungi dan dipenuhi agar manusia terlindungi martabat dan kesejahteraannya. hak-hak ekosob itu bukan hak yang langsung bisa dijamin pemerintah. Diperlukan suatu kewajiban positif, atau inisiatif nyata guna memenuhi hak ini, dari pihak pemerintah. Ini berbeda dengan hak-hak sipol yang hanya mengandaikan kewajiban negatif, atau sekadar jaminan perlindungan
Hak-hak ekosob diantaranya meliputi yang diatur antara lain, hak atas pekerjaan, hak mendapatkan program pelatihan, hak mendapatkan kenyamanan dan kondisi kerja yang baik, hak membentuk serikat buruh, Hak menikmati jaminan sosial, termask asuransi sosial, hak menikmati perlindungan pada saat dan setelah melahirkan, hak atas standar hidup yang layak termasuk pangan, sandang, dan perumahan, hak terbebas dari kelaparan, hak menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang tinggi, hak atas pendidikan, termasuk pendidikan dasar secara Cuma-Cuma, hak untuk berperan serta dalam kehidupan budaya menikmati manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan aplikasinya
Guna menjamin perlindungan dan pelaksanaan hak-hak ekosob di atas, maka Pemerintah Indonesia meratifikasi Kovenan tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ekosob) pada tahun 2005 melalui undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 Tindakan peratifikasian ini telah menandai babak baru wacana Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Meski boleh dibilang terlambat, namun ini merupakan suatu kemajuan yang patut untuk diapresiasi. Agar hak-hak ekosob dimaksud dapat terpenuhi, maka Negara-negara menyetujui dan menyepakati terbentuknya  Covenant on Economic, Social and Cultural Right  tahun 1966. Covenant on Economic, Social and Cultural Right  tahun 1966 berlakunya akan mempunyai kekuatan mengikat, apabila Negara-negara sebagai bagian dari masyarakat internasional mau menerimanya ke dalam sistem hukum nasionalnya melalui ratifikasi (pengesahan). Setiap Negara yang melakukan ratifikasi terhadap kovenan tersebut, maka konsekuensi yuridis bagi Negara-negara yang meratifikasinya adalah memiliki kewajiban untuk menegakan hak-hak ekosob dalam kehidupan warganya.[4]
Ditengah gejolak kehidupan global yang tidak menentu seperti sekarang, penegakan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya memang bukan perkara mudah. Ada berbagai tekanan kepentingan serta banyak rintangan yang harus dihadapi. Tidak menutup kemungkinan hal tersebut menjadi penyebab utama terabaikannya perlindungan dan penegakan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Bagi Indonesia sendiri, masalah ekonomi adalah rintangan yang cukup berat dalam menjalankan perlindungan terhadap hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya
Keterikatan atau tunduknya suatu negara pada suatu perjanjian internsioanl mengandung dua aspek, yakin aspek eksternal dan aspek internal. Aspel eksternal berarti negara itu memikul kewajiban dan menerima hak dari perjanjian internasional itu. Sedangkan aspek internalnya adalah perjanjian internasional itu masuk dan berlaku sebagai bagian dari hukum nasionalnya. Bahkan, persoalan internal juga sudah mulai muncul menjelang atau ketika pemerintah negara itu bermaksud  akan membuat perjanjian internasional dengan negara lain. Demikian juga menjelang akan mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional yang sudah ataupun berlaku sebelumnya. Masalah-masalah ini lebih tampak sebagai masalah prosedur, misalnya, organ atau lembaga negara/pemerintah yang menakah akan mewakili dan bertindak dan bertindak atasa nama dan untuk negara dalam memuat ataupu mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional
Selain masalah internal yang telah di jelaskan di atas, masalah internal lain yang lebih subtansi adalah dampak atau akibat dari masuknya perjanian internasional itu ke dalam hukum nasional bila telah diratifikasi terhadap hukum atau perundang-undangan nasional negara yang bersangkutan yang substansinya ada hubungan dengan substansi dari perjanjian internasional itu. Dalam hal ini dibutuhkan adanya penharmonisasian dan penyelarasan antara subtansi perjanjian interansional dengan substansi hukum nasional atau perundang-undangan nasional yang terkait.[5]
Karena negara punya tugas wajib untuk mencerdaskan rakyatnya. Sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 dalam paragraf ketiga yang berbunyi ”Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka
disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatam yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
 Untuk menunaikan tugas negara itulah maka semua sistem negara dikerahkan untuk menyelenggarakan pendidikan. Hak untuk memperoleh pendidikan adalah hak dasar semua warga
Hak atas pendidikan telah digariskan sebagai hak konstitusional sebagaimana dimaktubkan dalam Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa  “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Rumusan pendidikan sebagai bagian dari hak asasi manusia itu terlihat jelas pada Pasal 26 Deklarasi Hak Asasi Manusia yang menentukan bahwa “Setiap orang berhak atas pendidikan. Pendidikan harus bebas biaya, setidaknya pada tingkat dasar dan tingkat rendah. Pendidikan dasar harus bersifat wajib. Pendidikan teknik dan profesi harus tersedia secara umum dan pendidikan yang lebih tinggi harus sama-sama dapat dimasuki semua orang berdasarkan kemampuan”.
Ketentuan Pasal 26 Konvensi Hak Asasi Manusia tersebut sejalan dengan tujuan penyelenggaraan negara, yaitu salah satunya adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa (Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea IV). Tujuan tersebut secara rinci ditentukan dalam Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah dirubah, yang menentukan:
1.      Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
2.      Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya
3.      Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.
4.      Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
5.      Pendidikan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinnggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
            Hak atas pendidikan dalam UUD 1945 ditentukan dalam Pasal 28 C menentukan: “setiap orang berhak mengembangkan diri melalui kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”. Sangat tegas sekali Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia mengakomodasi hak asasi manusia untuk mendapatkan pendidikan demi kesejahteraan hidupnya. Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia juga hampir serupa pengaturannya, yaitu dalam Pasal 12 menentukan.
Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa, bertanggungjawab, berakhlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, menarik untuk dikaji dan diteliti tentang isu: KONSEKUENSI YURIDIS RATIFIKASI COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHT DAN IMPLEMENTASI BIDANG PENDIDIKAN DI INDOENSIA.
B. Rumusan Masalah
Masalah-masalah yang menjadi objek penelitian skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.      Apakah  konsekuensi yuridis ratifikasi Covenant on Economi, Social and Cultural Right Pengaturan hak-hak ekonomi, sosial budaya dalam Covenant on Economic Social and Cultural Right terhadap bidang pendidikan?.
2.      Langkah apakah yang perlu dilakukan oleh Indonesia dalam bidang pendidikan sesuai dengan kewajiban yang ditentukan kevenan ekonomi, sosial dan budaya?.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.
Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah:
1.      Untuk mengetahui dan menganalis apakah  konsekuensi yuridis ratifikasi Covenant on Economi, Social and Cultural Right Pengaturan hak-hak ekonomi, sosial budaya dalam Covenant on Economic Social and Cultural Right terhadap bidang pendidikan
2.      Untuk mengetahui dan menganalis Langkah apakah yang perlu dilakukan oleh Indonesia dalam bidang pendidikan sesuai dengan kewajiban yang ditentukan kevenan ekonomi, sosial dan budaya
Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah:
1.      Secara teoritis diharapkan penelitian ini mendorong meningkatkan pemahaman peneliti terutama yang berkenaan dengan penratifikasian yang dilakukan pemerintah Indonesia
2.      Secara praktis dapat memberikan masukan kepada pihak yang berkompeten dalam rangka implementasi ketentuan-ketentuan Covenant on Economic and Cultural Right tahun 1966 segera membentuk undang-undang yang melaksanakan ketentuan tersebut yang relevan
D. Kerangka konsepsional
Guna menghindari salah penafsiran terhadap istilah yang digunakan dalam penulisan proposal ini maka diperlukan penjelasan-penjelasan sebagai berikut:
1.      Konsekuensi Yuridis:
Konsekuensi adalah: akibat (dr suatu perbuatan, pendirian, dsb); 2 persesuaian dengan yang dahulu (kamus bahasa Indonesia)[6]
Yuridis adalah: menurut hukum; secara hukum[7]
Jadi konsekuendi yuridis adalah akibat dari persesuaian menurut hukum.
2.      Implementasi adalah: pelaksanaan; penerapan;melaksanakan; menerapkan[8]. Kata ini merupakan kata serapan dari bahasa Inggris yaitu implementatioan yang artinya pelaksanaan. Dalam penulisan proposal ini menunujuk pada pelaksaan perjanjian internasional mengenai hak ekonomi,sosial dan budaya
3.      Perjanjian Internasional:
Perjanjian Internasional, dalam pasal 2 konvensi wina 1969 mendefenisikan perjanjian internasional adalah suatu persetujuan yang dibuat antar negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan. Sedangkan dalam hukum positif Indonesia yang tertuang di Undang-undang Nomor 24 tahun 2000 tentang perjanjian Internasional dikatakan perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.
4.      Ratifikasi
Pengesahan perjanjian internasional; ratifikasi
Ratifiation, pengesahan perjanjian internasional
Suatu contoh adalah:
Convention number 100: year 1951 Statua-book year 1957; nr: 171: adalah Convention concering the Equal Re nu meration for men and womwn Workers for Equel value atau
Konvensi nomor 100; tahun 1951
Lembaran negara tahun 1957; nomor 171; adalah Konvensi mengenai pengupahan yang sama bagi Buruh laki-laki dan wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya-yang sekarang ini masih berlaku[9]
5.      Kovenan
Mengandung arti yang sama dengan piagam, jadi digunakan sebagai konstitusi suatu organisasi internasional. Disamping itu suatu perjanjian yang bukan merupakan konstitusi bagi organisasi internasional ada juga yang memakai istilah covenant[10]
6.      Bidang
Permukaan yang rata dan tentu batasnya: kubus itu mempunyai enam; (2) ukuran panjang (5 hasta) untuk mengukur panjang (tikar, layar, kulit, dsb) berapa tikar ini; (3) lapangan (dalam arti lingkungan pekerjaan, pengetahuan, dan sebagainya) perburuhan; (4) segi pandangan; aspek masalah itu harus ditinjau dari ilmu ketatanegaraan; (5)  kata penggolong bagi barang-barang yg luas spt tanah, sawah, ladang: dua tanahnya ditanami sayur-sayuran; (6) lebar dadanya; (7) kolom yang terdapat pada kartu berlubang untuk menuliskan informasi khusus; (8) bagian tertentu dalam rekaman komputer, misal dalam rekaman bibliografi, pengarang, atau tanggal publikasi dokumen
7.      Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar dan  terencana untuk mewujudkan suasana belajardan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. (undang-undang sisdiknas).
 pen.di.dik.an:
[n] proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dl usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik
Dengan demikian yang dimaksud dengan konsekuensi yuridis ratifikasi terhadap covenant on economic, social and cultural right tahun 1966 dan implementasi bidang pendidikan di Indonesia adalah Akibat secara hukum yang terjadi dalam menerapkan dan melaksanakan persetujuan yang dibuat antar negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional setelah Indonesia mengesahakan atau meratifikasi kovenan ekosob dalam segi pandangan dalam usaha terencana guna mewujudkan suasana belajar-mengajar di Indonesia
E. Kerangka Teoritis
            Hukum Internasional sebagai hukum yang mengatur hubungan antara kerajaan-kerajaan tidak mengalami perkembangan yang pesat pada zaman Romawi. Karena masyarakat dunia merupakan satu imperium yaitu imperium roma yang menguasai seluruh wilayah dalam lingkungan kebudayaan Romawi. Sehingga tidak ada tempat bagi kerajaan-kerajaan yang terpisah dan dengan sendirinya tidak ada pula tempat bagi hukum bangsa-bangsa yang mengatur hubungan antara kerajaan-kerajaan. Hukum Romawi telah menyumbangkan banyak sekali asas atau konsep yang kemudian diterima dalam hukum Internasional ialah konsep seperti occupatio servitut dan bona fides. Juga asas pacta sunt servanda merupakan warisan kebudayaan Romawi yang berharga.
            Perjanjian yang sudah disepakati oleh para pihak, berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang menyelenggarakan adalah pengertian dari pacta sunt servanda, dimana perjanjian merupakan sumber hukum yang dipercaya dan  menjadi dasar kebijakan akan suatu hal yang akan dilaksanakan Prinsip ini sangat mendasar dalam hukum internasional dan menjadi norma imperatif dalam praktek perjanjian internasional. Prinsip ini merupakan jawaban mengapa perjanjian internasional itu mempunyai kekuatan mengikat. Dalam Pasal 26 Konvensi Wina dirumuskan pengertian Pacta Sunt Servanda, bahwa setiap perjanjian mengikat terhadap pihak - pihak pada perjanjian itu harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Prinsip iktikad baik ini tidak hanya berlaku dalam pelaksanaan perjanjian-perjanjian yang bersifat khusus, tetapi juga berlaku terhadap perjanjian internasional yang berlaku umum seperti Piagam PBB.
            Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 (Vienna Convention 1969) mengatur mengenai Perjanjian Internasional Publik antar Negara sebagai subjek utama hukum internasional. Sebelum adanya Vienna Convention 1969 perjanjian antar negara, baik bilateral maupun multilateral, diselenggarakan semata-mata berdasarkan asas-asas seperti, good faith, pacta sunt servanda dan perjanjian tersebut terbentuk atas konsen dari negara-negara di dalamnya. Singkatnya sebelum keberadaan Vienna Convention 1969 Perjanjian Internasional antar Negara diatur berdasarkan kebiasaan internasional yang berbasis pada praktek Negara dan keputusan-keputusan Mahkamah Internasional maupun pendapat-pendapat para ahli hukum internasional
Vienna Convention 1969 dianggap sebagai induk perjanjian internasional karena konvensi inilah yang pertama kali memuat ketentuan-ketentuan  mengenai perjanjian internasional. Melalui konvensi ini semua ketentuan mengenai perjanjian internasional diatur, mulai dari ratifikasi, reservasi hingga pengunduran diri Negara dari suatu perjanjian internasional. Dengan adanya konvensi ini, perjanjian internasional antar Negara tidak lagi diatur oleh kebiasaan internasional namun oleh suatu perjanjian yang mengikat yang menuntut nilai kepatuhan yang tinggi dari negara anggotanya dan hanya bisa berubah apabila ada konsen dari seluruh Negara anggota Vienna Convention tersebut, tidak seperti kebiasaan internasional yang dapat berubah apabila ada tren internasional baru.
Maka Vienna Convention 1969 merupakan induk dari pengaturan perjanjian internasional karena konvensi ini merupakan konvensi pertama yang berisikan pengaturan perjanjian internasional, baik secara teknis maupun material dan ketentuan dalam konvensi ini merupakan kumpulan dari kebiasaan-kebiasaan internasional selama ini yang berkaitan dengan perjanjian internasional. Bahkan dewasa ini Vienna Convention 1969 telah dianggap sebagai kebiasaan internasional yang mengikat bahkan Negara yang tidak menjadi pesertanya.
Dalam hukum positif Indonesia ketentuan mengenai perjanjian internasional di atur dalam undang-undang nomor 24 tahun 2000 tentang perjanjian internasional. Dijelaskan mengenai Proses pembuatan perjanjian internasional dalam pasal 4 yang berbunyi Pemerintah Republik Indonesia membuat perjanjian internasional dengan satu negara  atau lebih, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain berdasarkan  kesepakatan, dan para pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut  dengan itikad baik, mengenai Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang- undang, pemberlakuan perjanjian internasional hingga pengakhiran perjanjian internasional.
            Intensitas kerjsama antara indonesia dengan negara-negara lain, baik bilateral maupun multilateral, dalam rangka pelaksanaan hubungan dan politik luar negeri semenjak beberapa dekade ini mengalami peningkatan yang sangat cepat. meningkatnya hubungan dan kerjasam tersebut, memerlukan adanya pengaturan-pengaturan mengenai kegiatan hubungan luar negeri yang jelas, terkoordinasi dan terpadu serta mempunyai kepastian hukum. agar tercapai hasil yang meksimal dalam pelaksanaan hubungan luar negeri yang melibatkan berbagai lembaga dan instansi pemerintah beserta perangkatnya, diperlukan adanya koordinasi antar departemen dan perwakilan Republik Indonesia dengan departemen luar negeri. Pengaturan mengenai penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri, pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional terdapat norma baru yaitu lembaga negara dan lembaga pemerintah baik departemen maupun non departemen yang mempunyai rencana membuat perjanjian internasional, terlebih dahulu melakukan konsultasi mengenai rencana tersebut dengan menteri luar negeri (pasal 13).
Hak ekonomi ini dalam hukum internasional kini adalah salah satu hak yang cukup mendasar. HAM memang mengatur tentang perlindungan hak-hak pribadi, namun fokus perhatian masyarakat internasional lebih berpihak pada perlindungan hak-hak sipil dan politik. warga negara harus dilindungi dalam hal pemenuhan hak atas pangan, hak atas kesehatan, hak atas pendidikan, hak atas rumah dan hak-hak lainnya sebagai manusia yang  bermartabat. Pemenuhan hak-hak yang merupakan bagian dari hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) tadi oleh negara makin kuat dasar hukumnya setelah Indonesia  meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak ekosob, 28 Oktober 2005 melalui  undang-undang No 11 Tahun 2005.  Dengan meratifikasi kovenan tadi, Indonesia harus melakukan  proses harmonisasi, internalisasi dan implementasi isi kovenan dalam peraturan  perundangan yang ada dan akan dibuat serta mewujudkan pemenuhan hak ekosob kepada semua warga negara.
Indonesia sejak proklamasi Kemerdekaan 1945, sudah mengadakan interaksi dengan Negara maupun Organisasi Internasional, yang tunduk pada Hukum Internasional. Indonesia sudah terlibat dalam pembuatan berbagai Perjanjian Internasional. Permasalahan yang dihadapi adalah bagaimana sikap Indonesia terhadap keberadaan Hukum Internasional, dan bagaimana Indonesia menerapkan Hukum Internasional, termasuk didalamnya Perjanjian Internasional.
Pada tahun 1969, 1978 dan 1986. Indonesia menetapkan bahwa yang mempunyai kapasitas untuk membuat Perjanjian Internasional adalah Presiden. Sekarang Indonesia mempunyai Undang-Undang mengenai Perjanjian Internasional yakni Undang-Undang No. 24 Tahun 2000.
Pasal 13 UUD 1945 menunjukkan kesediaan Indonesia mengakui keberadaan Hukum Diplomatik, yang juga masih berupa Hukum Kebiasaan Internasional. Hukum tentang hubungan diplomatik dan konsuler dituangkan dalam Perjanjian Internasional baru tahun 1961, 1963, 1969, 1973, 1975 dan 1979. Indonesia menetapkan bahwa Presiden mempunyai kapasitas untuk mengangkat dan menerima duta dan konsul. Sekarang Indonesia sudah memiliki Undang-Undang No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.
Penggolongan yang tidak kalah penting dalam membahas perjanjian internasional sebagai sumber hukum formal ialah penggolongan perjanjian dalam treaty contract dan law making treaties, dengan treaty contract dimaksudkan perjanjian seperti perjanjian kotrak atau perjanjian dalam hukum perdata, hanya mengakibatkan hak dan kewajiban antara para pihak yang mengadakan perjanjian itu, contoh treaty contract demikian misalnya perjanjian mengenai dwikewarganegaran, perjanjian perbatasan, perjanjian perdagangan, perjanjian pemberantasan penyelundupan. Dengan law making treaties dimaksudkan perjanjian yang meletakan ketentuan atau kaidah hukum bagi masyarakat internasional sebagai keseluruhan. Contoh perjanjian demikian ialah konvensi tahun 1949 mengenai Perlindungan Korban Perang, Konvensi-konvensi tahun 1958 mengenai hukum laut, konvensi wina tahun 1961 mengenai hubungan diplomatik. Perbedaan antara treaty contract dan law making treaties jelas tampak bila dilihat dari para pihak yang tidak turut serta pada perundingan yang melahirkan perjanjian tersebut. Pihak ketiga umumnya tidak dapat turut serta dalam treaty contract yang diadakan antara para pihak yang mengadakan perjanjian itu semula. Perjanjian ini mengatur persoalan yang semata-mata mengenai pihak-pihak itu. Dengan perkataan lain, pihak ketiga yang tidak berkepentingan misalnya, Amerika Serikat tidak dapat turut serta dalam suatu perjanjian mengenai perbatasan dan dwikewarganegaraan antara Singapura dan Indonesia atau pemberantasan penyeledupan antara Indonesia dan Arab Saudi. Sebaliknya, suatu perjanjian yang dinamakan law making treaty selalu terbuka bagi pihak lain yang tadinya tidak turut serta dalam perjanjian, karena yang diatur oleh perjanjian itu merupakan hal umum mengenai semua anggota masyarakat internasional. Misalnya, Negara Ghana, Guinea, Tanzania dapat turut serta dalam Konvensi Jenewa tahun 1949 mengenai perlindungan korban perang, walaupun negara-negara itu tidak turut dalam Konvensi Jenewa yang menyusun konvensi-konvensi tersebut. Bahkan, negara-negara tadi pada waktu itu belum ada.[11]
Kedua  doktrin ini mendudukan hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional yang diterapkan oleh suatu negara. Doktrin dualisme membedakan antara hukum nasional dan hukum internasional. Setidaknya ada 3 alasan:
a)      Sumber Hukum: hukum internasional terdiri dari kebiasaan dan perjanjian internasional yang berkembang dalam hubungan antarnegara, sedangkan pada hukum nasioanla sumber tersebut adalah hukum yang berkembang dalam batas wilayah negara itu tersebut;
b)      Obyek hukum: dalam hukum nasioal adalah para individu di bawah naungan negara, sedangkan dalam hukum internasional norma yang lahir sebagai produk hubungan antar negara-negara;
c)      Sifat: koordinasi antara subjek hukum internasional yang berdaulat atau independen tidak di atas para anggotanya yang berdaulat, sedangkan hukum nasional adalah hukum yang merupakan manifestasi kedaulatan terhadap warganya.[12]
Dari bebarapa defenisi dan konsep-konsep mengenai parjanjian internasional terlihat ada syarat-syarat atau unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk dapat dikatakan ”Sebuah perjanjian internasional”, antara lain:
1.      Adanya persetujuan Internasional
2.      Dilakukan oleh negara-negara
3.      Berbentuk tulisan
4.      Tunduk pada prinsip-prinsip hukum internasional[13]
Jadi, pertama-tama termasuk di dalamnya perjanjian antara negara-negara. Disamping itu, perjanjian antara negara dengan organisasi internasional dan perjanjian antara organisasi internasional lainnya. Juga dapat dianggap sebagai perjanjian internasional, perjanjian yang diadakan tahta suci dengan negara-negara, walaupun yang diatur di dalam perjanjian itu semata-mata urusan gereja dan bukan urusan kenegaraan, karena Takhta suci merupakan subjek hukum yang diakui dalam hukum internasional
            Sebaliknya, tidak dapat dianggap sebagai perjanjian internasional dalam arti yang diuraikan diatas perjanjian yang pernah diadakan di zaman lampau antara serikat-serikat dagang yang besar seperti East India Company dan Verenegde Oost Indisce Compagnie dengan kepala-kepala negeri bumiputra. Tidak dapat pula dimasukan ke dalamnya kontrak yang diadakan antara suatu negara dengan orang perorang baik suatu individu ( natural person) maupun antara suatu negara dengan suatau badan hukum (legal person), misalnya perusahaan minyak AS[14]
Secara yuridis-historis, ratifikasi berarti penegasan (confirmation). Tujuan ratifikasi adalah membatasi kewenangan wakil-wakil Negara yang ditunjuk mengikuti tahap perundingan perjanjian internasional, karena kesulitan mengadakan hubungan yang cepat pada waktu itu, sehingga kepala negara atau pemerintahan yang bersangkutan tidak dapat mengikuti secara terus menerus setiap tahapan proses pembuatan perjanjian. Untuk membatasai wewenang wakil yang diutus atau dikirim, maka perjanjian internasional sebelum berlaku memerlukan proses ratifikasi yang dilakukan kepala negara sebelum menayatakan mengikatkan diri pada perjanjian internasional yang dibuat[15].
Salah satu fungsi Negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam Pasal 31 UUD 1945 disebutkan “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Atas dasar itu maka pemerintah sebagai penyelenggara negara telah mengemban tugas besar. Sebuah amanah konstitusi dari rakyat Indonesia. Pendidikan sebagai soko guru peradaban tentu mempunyai nilai tersendiri di mata semua orang. Keyakinan yang mendalam bahwa bangsa ini akan menjadi bangsa yang besar dan berperadaban tinggi jika pondasi masyarakatnya dibangun dengan moralitas dan pendidikan yang bertanggung jawab.
Posisi pendidikan tidaklah main-main. Ia bukanlah barang komoditas yang ada harganya sehingga bernuansa sangat ekonomis. Ataupun bukan pula ibarat modal sehingga wajar kalau ingin berpendidikan maka harus punya uang yang banyak. Tetapi sudut pandangnya mengerucut bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab negara dan masyarakat berhak untuk mendapatkannya dengan kondisi yang layak, bukan asal-asalan.
Pendidikan pada dasarnya adalah hak dasar semua warga. Jika pemerintah memang tak mampu membuat kurikulum yang baik, setidaknya mau melakukan kebijakan yang membuat semua anak bersekolah
Melalui undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan kemudian dikukuhkan dengan meratifikasi hak-hak Ekosob dengan undang-undang no 19 tahun 2005 tentang pendidikan, sebenarnya bangsa Indonesia dalam hal ini pemerintah, telah memenuhi kewajiban terhadap tindakan akan hak semua masyarakat untuk memperoleh pendidikan secara layak dan bermutu. Pengakuan atau ratifikasi hak-hak ekosob oleh suatu negara, pada dasarnya adalah pernyataan komitmen formal negara untuk memenuhi hak-hak ekosob warga negaranya. Dengan demikian negara wajib menjadikan tugas pemenuhan hak-hak ekosob tersebut sebagai suatu agenda dalam pembangunan yang dilaksanakan secara konsisten. Artinya negara wajib melakukan harmonisasi, dalam bentuk mainstreaming pemenuhan hak ekosob dalam rencana pembangunan, anggaran, peraturan perundangan, serta implementasi dalam pelayanan publik ataupun penyediaan barang/jasa lainnya.
Pendidikan adalah hak dasar kemanusiaan yang harus dapat dinikmati secara layak dan merata oleh setiap masyarakat. Bahwa pengertian hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, dan oleh karena itu, harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun; maka Negara sebagai institusi resmi wajib melaksanakannya, memfasilitasi dan meniadakan segala penghalangnya. Untuk itu, pendidikan yang bermutu.
Sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 yang meliputi:
a.       standar isi;
b.      standar proses;
c.       standar kompetensi lulusan;
d.      standar pendidik dan tenaga kependidikan;
e.       standar sarana dan prasarana;
f.       standar pengelolaan;
g.      standar pembiayaan dan
h.      standar penilaian pendidikan, adalah hak setiap masyarakat (warga negara) usia belajar.
Dengan direalisasikannya undang-undang No. 20 tahun 2003, yang pada pasal 29 menyebutkan: “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negera (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan diundangkannya undang-undang  no. 19 tahun 2005 tentang standart pendidikan Nasional adalah realisasi kewajiban terhadap tindakan yang harus dilaksanakan oleh pemerintah.
F. Metode Penelitian
1.      Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif.
2.      Pendekatan
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan:
a.       Pendekatan sejarah.
Pendekatan sejarah dilakukan dalam penelitian ini guna mengetahui dan meneliti norma-norma hukum Perjanjian Internasional dalam perkembangan dan perubahan kedudukannya sebagai sumber hukum. Juga memahami filosfi dari aturan hukum dari waktu ke waktu. Disamping peneliti juga dapat memahami perubahan dan perkembangan filosofi yang melandasi aturan hukum tersebut.[16]
b.      Pendekatan perundang-undangan.
Dalam metode pendekatan perundang-undangan peneliti perlu memahami hirarki, dan asas dalam peraturan perundang-undangan tahun 2004, pengaturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis oleh lembaga yang berwenang dan mengikat secara umum. Dari pengertian tersebut, secara singkat dapat dikatakan bahwa yang dimaksud sebagai statue berupa legilasi dan regulasi. Jika demikian, pendekatan peraturan perundang-undanngan adalah pendekatan mengunakan legilasi dan regulasi. Produk[17]
c.       Pendekatan kasus.
Dalam Menggunakan pendekatan kasus, yang perlu dipahami oleh peneliti adalah ratio decidendi, yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai pada putusannya. Menurut Goodheart, ratio decidendi  dapat diketemukan dengan memerhatikan fakta materiil. Fakta-fakta tersebut berupa  orang, tempat dan segala yang menyertainya asalkan tidak terbukti sebaliknya. Perlunya fakta materiil tersebut diperhatikan karena baik hakim maupun para pihak akan mencari aturan hukum yang tepat untuk dapat diterapkan kepada fakta tersebut. Ratio decidendi inilah yang menunjukan bahwa ilmu hukum merupakan ilmu yang bersifat perspektif, bukan deskriptif. Sedangkan dictum, yaitu putusannya merupakan sesuatu yang bersifat deskriptif. Oleh karena itulah pendekatan kasus bukanlah merujuk kepada dictum putusan pengadilan, melainkan merujuk pada ratio decidendi.[18]
3.      Bahan Hukum.
Sebagai bahan hukum dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian kepustakaan yang merupakan sumeber data sekunder dengan mempelajari:
1)            Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yang diperoleh dengan mempelajari peraturan perundang-undangan dan peraturan lain yang berkaitan dengan ratifikasi
Perjanjian internasional serta akibat dari ratitfikasi yang terdiri dari:
1.            Undang-undang Dasar 1945
2.            Konvensi Wina 1969 ( Vienna Convention on The Law of Treaties)
3.            Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Convention on Economic, Social and Cultural Rights ) 1966
4.            Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Convention on Economic, Social and Cultural Rights)
5.            Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional
6.            Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional
2)            Bahan Hukum sekunder
Yaitu diperoleh dengan mempelajari literature maupun bacaan ilmiah yang ada hubungannya dengan proposal ini,berupa:
a.        Referensi buku-buku;
b.        Karya ilmiah;
c.        Hasil penelitian
d.       Makalah-makalah
e.        Tulisan-tulisan lain yang berhubungan dengan objek penelitian.

3)            Bahan Hukum Tertier
1)            Kamus Hukum
2)            Terminologi Hukum
3)            Kamus Besar Bahasa Indonesia
4)            Analisis Hukum
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis  yuridis kualitatif sedangkan penulisan dilakukan dengan mempergunakan metode deduktif. Dengan metode deduktif penulis membahas dari hal-hal yang bersifat umum menuju hal-hal yang khusus. Sedangkan dengan metode induktif penulis membahas dari hal-hal yang bersifat khusus menuju hal-hal yang bersifat umum
g.      Sistematika Penelitian
Untuk memudahkan pembaca mengetehui gambaran skripsi ini secara keseluruhan, berikut sistematika penulisan bab per bab
Bab pertama, yaitu pendahuluan. Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang penulisan yang mengambil masalah ratifikasi perjanjian internasional (International Convention on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) tentang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dilihat pengaharmonisasian peraturan dalam hukum positif Indonesia. Dalambab ini juga terdapat perumusan masalah, tujuan penelitian dan metode penelitian yang digunakan dalam membahas masalah yang telah diuraikan tersebut.
Bab Kedua, yaitu tinjuan pustaka. Dalam bab ini berisikan dasar-dasar hukum yang berkenaan dengan ratifikasi perjanjian internasional dan telaah mengenai kaidah-kaidah hukum yang berlaku baik nasional maupun internasional

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda