Konsekuensi ratifikasi covenant economic, social dan cultural right dan implementasinya dalam bidang pendidikan di Indonesia
Diposting oleh winandakusuma di 20.59
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketergantungan
antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lain saling mendorong terciptanya
kerjasama internasional dimana norma-normanya dalam konteks hubungan
internasional modern dirumuskan dalam perjanjian-perjanjian
internasional. Perbedaan falsafah atau pandangan hidup, kebudayaan, ras, agama
atau kepercayaan dan juga masalah-masalah lain tidak lagi menjadi faktor
penghalang hubungan dan kerjasama antar negara. Demikian pula halnya dengan
kemajuan bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang memiliki dampak baik
positif maupun negatif menghendaki negara-negara mencari titik-titik
persamaan melalui kerjasama internasional. Semua perbedaan-perbedaan dimaksud
dirumuskan dalam bentuk hak-hak dan kewajiban-kewajiban masing-masing Negara
yang disepakati di dalam perjanjian internasional. [1]Salah satu faktor penting pendorong diadakannya hubungan, kerjasama atau
perjanjian internasional adalah hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (dalam
literature juga disebut ekosob, selanjutnya disebut hak ekosob) sebagaimana
dijamin dalam berbagai naskah PBB seperti: Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia (Universal Declaration of Human Rights) tahun 1948 dan International
Covenant on Civil and Political Right (1966).
Hak ekonomi, sosial dan budaya adalah bagian daripada Hak
Asasi Manusia (HAM) yang harus dipenuhi karena termasuk rumpun hak positif
yaitu pemenuhan hak ini hanya akan tercapai jika peranan negara dalam bidang
itu menunjukan tanda plus. Dengan kata lain, pemenuhan hak itu membutuhkan
peranan aktif negara. Absennya peranan negara akan berarti hak ini diabaikan.
Hak positif atau hak ekonomi, sosial dan budaya
sebenarnya lebih merupakan rumusan mengenai kebutuhan asasi manusia (human
needs). Setiap manusia memiliki kebutuhan asasi, misalnya makan,
berpakaian, mendapatkan pendidikan, pelayanan kesehatan serta tempat tinggal
yang layak. Untuk memenuhi setiap kebutuhan itu mutlak diperlukan materi
tertentu. Orang hanya bisa memuaskan rasa laparnya dengan makanan, untuk
membalut tubuhnya ia perlu pakaian, untuk pendidikan ia perlu sekolah. Jika
materi itu tidak tersedia, kebutuhan tadi tidak bisa dipenuhi. Tanpa makanan
orang bisa menderita kelaparan, tanpa pendidikan orang buta aksara. Tapi untuk
membeli kebutuhan itu, perlu uang. Untuk mendapatkan uang, harus bekerja.
Demikian seterusnya.
Menurut konteks
HAM sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa pemenuhan semua hak-hak ekonomi dan
sosial budaya dimaksud menjadi tugas dan kewajiban negara. Konstitusi dan
undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia telah mengatur hal
yang sama dalam pasal 71 Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati,
melindungi, menegakan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur
dalam Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional
tentang hak asasi manusia yang.diterima oleh negara Republik Indonesia. Pasal
72 Kewajiban dan tanggungjawab pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 71,
meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik,
ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain.Mengingat
terbatasnya kemampuan setiap negara, baik keterbatasan sumber daya alam, ilmu
pengetahuan dan peradaban memaksa negara untuk mengadakan perjanjian-perjanjian
internasional dengan negara lain guna memperoleh kebutuhan-kebutuhan tersebut.
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes berpendapat bahwa karena adanya
pembagian kekayaan alam yang tidak merata; adanya kepentingan perniagaan yang
bertujuan mempertukarkan hasil bumi dengan hasil industri.[2]
Menurut Hairansyah berkaitan dengan hak ekosob bahwa:
Paling tidak, ada tiga alasan kenapa hak ekonomi, sosial, dan budaya yang
selanjutnya disebut ekosob mempunyai arti sangat penting yaitu.
1). Hak ekosob mencakup berbagai
masalah paling utama yang dialami manusia sehari-hari: makanan yang cukup,
pelayanan kesehatan dan perumahan yang layak adalah di antara kebutuhan pokok (basic
necessities) bagi seluruh manusia. ratusan juta orang di seluruh penjuru
dunia tidak mempunyai akses terhadap kebutuhan pokok mereka, apalagi
mempengaruhi kebijakan penguasa tentang survival mereka sehari-hari.
2). Hak
ekosob tidak bisa dipisahkan dengan HAM lainnya: interdependensi HAM adalah
realitas yang tidak bisa dihindari saat ini. Misalnya, hak untuk memilih dan
kebebasan mengeluarkan pendapat akan tidak banyak artinya bagi mereka yang
berpendidikan rendah karena pendapatan mereka tidak cukup untuk membiayai
sekolah.
3). Hak ekosob mengubah kebutuhan menjadi hak: seperti yang sudah
diulas di atas atas dasar keadilan dan martabat manusia, hak ekonomi sosial
budaya memungkinkan masyarakat menjadikan kebutuhan pokok mereka sebagai sebuah
hak yang harus diklaim (rights to claim) dan bukannya sumbangan yang
didapat (charity to receive).[3]
Hak-hak ekosob
adalah hak dasar manusia yang harus dilindungi dan dipenuhi agar manusia
terlindungi martabat dan kesejahteraannya. hak-hak ekosob itu bukan hak yang
langsung bisa dijamin pemerintah. Diperlukan suatu kewajiban positif, atau
inisiatif nyata guna memenuhi hak ini, dari pihak pemerintah. Ini berbeda
dengan hak-hak sipol yang hanya mengandaikan kewajiban negatif, atau sekadar
jaminan perlindungan
Hak-hak ekosob
diantaranya meliputi yang diatur antara lain, hak atas pekerjaan, hak
mendapatkan program pelatihan, hak mendapatkan kenyamanan dan kondisi kerja
yang baik, hak membentuk serikat buruh, Hak menikmati jaminan sosial, termask
asuransi sosial, hak menikmati perlindungan pada saat dan setelah melahirkan,
hak atas standar hidup yang layak termasuk pangan, sandang, dan perumahan, hak
terbebas dari kelaparan, hak menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang
tinggi, hak atas pendidikan, termasuk pendidikan dasar secara Cuma-Cuma, hak
untuk berperan serta dalam kehidupan budaya menikmati manfaat dari kemajuan
ilmu pengetahuan dan aplikasinya
Guna menjamin perlindungan dan pelaksanaan hak-hak ekosob
di atas, maka Pemerintah Indonesia meratifikasi Kovenan tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ekosob)
pada tahun 2005 melalui undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 Tindakan
peratifikasian ini telah menandai babak baru wacana Hak Asasi Manusia (HAM) di
Indonesia. Meski boleh dibilang terlambat, namun ini merupakan suatu kemajuan
yang patut untuk diapresiasi. Agar hak-hak ekosob dimaksud dapat terpenuhi,
maka Negara-negara menyetujui dan menyepakati terbentuknya Covenant on
Economic, Social and Cultural Right tahun 1966. Covenant on
Economic, Social and Cultural Right tahun 1966 berlakunya akan
mempunyai kekuatan mengikat, apabila Negara-negara sebagai bagian dari
masyarakat internasional mau menerimanya ke dalam sistem hukum nasionalnya
melalui ratifikasi (pengesahan). Setiap Negara yang melakukan ratifikasi
terhadap kovenan tersebut, maka konsekuensi yuridis bagi Negara-negara yang
meratifikasinya adalah memiliki kewajiban untuk menegakan hak-hak ekosob dalam
kehidupan warganya.[4]
Ditengah gejolak kehidupan global yang tidak menentu
seperti sekarang, penegakan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya memang bukan
perkara mudah. Ada berbagai tekanan kepentingan serta banyak rintangan yang
harus dihadapi. Tidak menutup kemungkinan hal tersebut menjadi penyebab utama
terabaikannya perlindungan dan penegakan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.
Bagi Indonesia sendiri, masalah ekonomi adalah rintangan yang cukup berat dalam
menjalankan perlindungan terhadap hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya
Keterikatan
atau tunduknya suatu negara pada suatu perjanjian internsioanl mengandung dua
aspek, yakin aspek eksternal dan aspek internal. Aspel eksternal berarti
negara itu memikul kewajiban dan menerima hak dari perjanjian internasional
itu. Sedangkan aspek internalnya adalah perjanjian internasional itu masuk dan
berlaku sebagai bagian dari hukum nasionalnya. Bahkan, persoalan internal juga
sudah mulai muncul menjelang atau ketika pemerintah negara itu bermaksud
akan membuat perjanjian internasional dengan negara lain. Demikian juga
menjelang akan mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional yang sudah
ataupun berlaku sebelumnya. Masalah-masalah ini lebih tampak sebagai masalah
prosedur, misalnya, organ atau lembaga negara/pemerintah yang menakah akan
mewakili dan bertindak dan bertindak atasa nama dan untuk negara dalam memuat
ataupu mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional
Selain masalah
internal yang telah di jelaskan di atas, masalah internal lain yang lebih
subtansi adalah dampak atau akibat dari masuknya perjanian internasional itu ke
dalam hukum nasional bila telah diratifikasi terhadap hukum atau
perundang-undangan nasional negara yang bersangkutan yang substansinya ada
hubungan dengan substansi dari perjanjian internasional itu. Dalam hal ini
dibutuhkan adanya penharmonisasian dan penyelarasan antara subtansi perjanjian
interansional dengan substansi hukum nasional atau perundang-undangan nasional
yang terkait.[5]
Karena negara
punya tugas wajib untuk mencerdaskan rakyatnya. Sebagaimana diamanatkan dalam
pembukaan UUD 1945 dalam paragraf ketiga yang berbunyi ”Kemudian daripada itu
untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan
kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatam yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatam yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Untuk
menunaikan tugas negara itulah maka semua sistem negara dikerahkan untuk
menyelenggarakan pendidikan. Hak untuk memperoleh pendidikan adalah hak dasar
semua warga
Hak atas
pendidikan telah digariskan sebagai hak konstitusional sebagaimana dimaktubkan
dalam Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menentukan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapatkan
pendidikan”. Rumusan pendidikan sebagai bagian dari hak asasi manusia itu
terlihat jelas pada Pasal 26 Deklarasi Hak Asasi Manusia yang menentukan bahwa
“Setiap orang berhak atas pendidikan. Pendidikan harus bebas biaya, setidaknya
pada tingkat dasar dan tingkat rendah. Pendidikan dasar harus bersifat wajib.
Pendidikan teknik dan profesi harus tersedia secara umum dan pendidikan yang
lebih tinggi harus sama-sama dapat dimasuki semua orang berdasarkan kemampuan”.
Ketentuan Pasal
26 Konvensi Hak Asasi Manusia tersebut sejalan dengan tujuan penyelenggaraan
negara, yaitu salah satunya adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa
(Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea IV).
Tujuan tersebut secara rinci ditentukan dalam Pasal 31 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah dirubah, yang menentukan:
1.
Setiap warga negara berhak mendapat
pendidikan.
2.
Setiap warga negara wajib mengikuti
pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya
3.
Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan
satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta
akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan
undang-undang.
4.
Negara memprioritaskan anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara
serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional.
5.
Pendidikan memajukan ilmu pengetahuan
dan teknologi dengan menjunjung tinnggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa
untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Hak atas pendidikan dalam UUD 1945 ditentukan dalam Pasal 28 C menentukan:
“setiap orang berhak mengembangkan diri melalui kebutuhan dasarnya, berhak
mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi,
seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan
umat manusia”. Sangat tegas sekali Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia mengakomodasi hak asasi manusia untuk mendapatkan pendidikan demi
kesejahteraan hidupnya. Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia juga hampir serupa pengaturannya, yaitu dalam Pasal 12
menentukan.
Setiap orang
berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh
pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar
menjadi manusia yang beriman, bertakwa, bertanggungjawab, berakhlak mulia,
bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia.
Berdasarkan
alasan-alasan tersebut di atas, menarik untuk dikaji dan diteliti tentang isu:
KONSEKUENSI YURIDIS RATIFIKASI COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL
RIGHT DAN IMPLEMENTASI BIDANG PENDIDIKAN DI INDOENSIA.
B. Rumusan Masalah
Masalah-masalah
yang menjadi objek penelitian skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah
konsekuensi yuridis ratifikasi Covenant on Economi, Social and
Cultural Right Pengaturan hak-hak ekonomi, sosial budaya dalam Covenant
on Economic Social and Cultural Right terhadap bidang pendidikan?.
2. Langkah apakah
yang perlu dilakukan oleh Indonesia dalam bidang pendidikan sesuai dengan
kewajiban yang ditentukan kevenan ekonomi, sosial dan budaya?.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.
Adapun yang menjadi tujuan dalam
penulisan skripsi ini adalah:
1.
Untuk mengetahui dan menganalis
apakah konsekuensi yuridis ratifikasi Covenant on Economi, Social and
Cultural Right Pengaturan hak-hak ekonomi, sosial budaya dalam Covenant
on Economic Social and Cultural Right terhadap bidang pendidikan
2.
Untuk mengetahui dan menganalis Langkah
apakah yang perlu dilakukan oleh Indonesia dalam bidang pendidikan sesuai
dengan kewajiban yang ditentukan kevenan ekonomi, sosial dan budaya
Manfaat yang diharapkan dalam
penelitian ini adalah:
1.
Secara teoritis diharapkan penelitian
ini mendorong meningkatkan pemahaman peneliti terutama yang berkenaan dengan
penratifikasian yang dilakukan pemerintah Indonesia
2.
Secara praktis dapat memberikan masukan
kepada pihak yang berkompeten dalam rangka implementasi ketentuan-ketentuan Covenant
on Economic and Cultural Right tahun 1966 segera membentuk undang-undang
yang melaksanakan ketentuan tersebut yang relevan
D. Kerangka konsepsional
Guna
menghindari salah penafsiran terhadap istilah yang digunakan dalam penulisan
proposal ini maka diperlukan penjelasan-penjelasan sebagai berikut:
1.
Konsekuensi Yuridis:
Konsekuensi
adalah: akibat (dr suatu perbuatan, pendirian, dsb); 2 persesuaian
dengan yang dahulu (kamus bahasa Indonesia)[6]
Yuridis adalah:
menurut hukum; secara hukum[7]
Jadi konsekuendi
yuridis adalah akibat dari persesuaian menurut hukum.
2.
Implementasi adalah: pelaksanaan;
penerapan;melaksanakan; menerapkan[8]. Kata ini merupakan kata serapan dari
bahasa Inggris yaitu implementatioan yang artinya pelaksanaan. Dalam
penulisan proposal ini menunujuk pada pelaksaan perjanjian internasional
mengenai hak ekonomi,sosial dan budaya
3.
Perjanjian Internasional:
Perjanjian Internasional, dalam pasal 2
konvensi wina 1969 mendefenisikan perjanjian internasional adalah suatu
persetujuan yang dibuat antar negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh
hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih yang
berkaitan dan apapun nama yang diberikan. Sedangkan dalam hukum positif
Indonesia yang tertuang di Undang-undang Nomor 24 tahun 2000 tentang perjanjian
Internasional dikatakan perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk
dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara
tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.
4.
Ratifikasi
Pengesahan
perjanjian internasional; ratifikasi
Ratifiation, pengesahan
perjanjian internasional
Suatu contoh
adalah:
Convention
number 100: year 1951 Statua-book year 1957; nr: 171: adalah Convention
concering the Equal Re nu meration for men and womwn Workers for Equel value
atau
Konvensi nomor
100; tahun 1951
Lembaran negara
tahun 1957; nomor 171; adalah Konvensi mengenai pengupahan yang sama bagi Buruh
laki-laki dan wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya-yang sekarang ini masih
berlaku[9]
5.
Kovenan
Mengandung arti
yang sama dengan piagam, jadi digunakan sebagai konstitusi suatu organisasi
internasional. Disamping itu suatu perjanjian yang bukan merupakan konstitusi
bagi organisasi internasional ada juga yang memakai istilah covenant[10]
6.
Bidang
Permukaan yang
rata dan tentu batasnya: kubus itu mempunyai enam; (2) ukuran panjang (5 hasta)
untuk mengukur panjang (tikar, layar, kulit, dsb) berapa tikar ini; (3)
lapangan (dalam arti lingkungan pekerjaan, pengetahuan, dan sebagainya)
perburuhan; (4) segi pandangan; aspek masalah itu harus ditinjau dari ilmu
ketatanegaraan; (5) kata penggolong bagi barang-barang yg luas spt tanah,
sawah, ladang: dua tanahnya ditanami sayur-sayuran; (6) lebar dadanya; (7)
kolom yang terdapat pada kartu berlubang untuk menuliskan informasi khusus; (8)
bagian tertentu dalam rekaman komputer, misal dalam rekaman bibliografi,
pengarang, atau tanggal publikasi dokumen
7.
Pendidikan
Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajardan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. (undang-undang sisdiknas).
pen.di.dik.an:
[n] proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dl usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik
[n] proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dl usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik
Dengan demikian
yang dimaksud dengan konsekuensi yuridis ratifikasi terhadap covenant on
economic, social and cultural right tahun 1966 dan implementasi bidang pendidikan
di Indonesia adalah Akibat secara hukum yang terjadi dalam menerapkan dan
melaksanakan persetujuan yang dibuat antar negara dalam bentuk tertulis, dan
diatur oleh hukum internasional setelah Indonesia mengesahakan atau
meratifikasi kovenan ekosob dalam segi pandangan dalam usaha terencana guna
mewujudkan suasana belajar-mengajar di Indonesia
E. Kerangka Teoritis
Hukum Internasional sebagai hukum yang mengatur hubungan antara kerajaan-kerajaan
tidak mengalami perkembangan yang pesat pada zaman Romawi. Karena masyarakat
dunia merupakan satu imperium yaitu imperium roma yang menguasai seluruh
wilayah dalam lingkungan kebudayaan Romawi. Sehingga tidak ada tempat bagi
kerajaan-kerajaan yang terpisah dan dengan sendirinya tidak ada pula tempat
bagi hukum bangsa-bangsa yang mengatur hubungan antara kerajaan-kerajaan. Hukum
Romawi telah menyumbangkan banyak sekali asas atau konsep yang kemudian
diterima dalam hukum Internasional ialah konsep seperti occupatio servitut
dan bona fides. Juga asas pacta sunt servanda merupakan warisan
kebudayaan Romawi yang berharga.
Perjanjian yang sudah disepakati oleh para pihak, berlaku sebagai undang-undang
bagi para pihak yang menyelenggarakan adalah pengertian dari pacta sunt
servanda, dimana perjanjian merupakan sumber hukum yang dipercaya dan
menjadi dasar kebijakan akan suatu hal yang akan dilaksanakan Prinsip ini
sangat mendasar dalam hukum internasional dan menjadi norma imperatif dalam
praktek perjanjian internasional. Prinsip ini merupakan jawaban mengapa
perjanjian internasional itu mempunyai kekuatan mengikat. Dalam Pasal 26
Konvensi Wina dirumuskan pengertian Pacta Sunt Servanda, bahwa setiap
perjanjian mengikat terhadap pihak - pihak pada perjanjian itu harus
dilaksanakan dengan iktikad baik. Prinsip iktikad baik ini tidak hanya berlaku
dalam pelaksanaan perjanjian-perjanjian yang bersifat khusus, tetapi juga
berlaku terhadap perjanjian internasional yang berlaku umum seperti Piagam PBB.
Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 (Vienna Convention 1969)
mengatur mengenai Perjanjian Internasional Publik antar Negara sebagai subjek
utama hukum internasional. Sebelum adanya Vienna Convention 1969
perjanjian antar negara, baik bilateral maupun multilateral, diselenggarakan
semata-mata berdasarkan asas-asas seperti, good faith, pacta sunt servanda
dan perjanjian tersebut terbentuk atas konsen dari negara-negara di dalamnya.
Singkatnya sebelum keberadaan Vienna Convention 1969 Perjanjian
Internasional antar Negara diatur berdasarkan kebiasaan internasional yang
berbasis pada praktek Negara dan keputusan-keputusan Mahkamah Internasional
maupun pendapat-pendapat para ahli hukum internasional
Vienna
Convention 1969 dianggap sebagai induk perjanjian internasional
karena konvensi inilah yang pertama kali memuat ketentuan-ketentuan
mengenai perjanjian internasional. Melalui konvensi ini semua ketentuan
mengenai perjanjian internasional diatur, mulai dari ratifikasi, reservasi hingga
pengunduran diri Negara dari suatu perjanjian internasional. Dengan adanya
konvensi ini, perjanjian internasional antar Negara tidak lagi diatur oleh
kebiasaan internasional namun oleh suatu perjanjian yang mengikat yang menuntut
nilai kepatuhan yang tinggi dari negara anggotanya dan hanya bisa berubah
apabila ada konsen dari seluruh Negara anggota Vienna Convention
tersebut, tidak seperti kebiasaan internasional yang dapat berubah apabila ada
tren internasional baru.
Maka Vienna
Convention 1969 merupakan induk dari pengaturan perjanjian internasional
karena konvensi ini merupakan konvensi pertama yang berisikan pengaturan
perjanjian internasional, baik secara teknis maupun material dan ketentuan
dalam konvensi ini merupakan kumpulan dari kebiasaan-kebiasaan internasional
selama ini yang berkaitan dengan perjanjian internasional. Bahkan dewasa ini Vienna
Convention 1969 telah dianggap sebagai kebiasaan internasional yang
mengikat bahkan Negara yang tidak menjadi pesertanya.
Dalam hukum
positif Indonesia ketentuan mengenai perjanjian internasional di atur dalam
undang-undang nomor 24 tahun 2000 tentang
perjanjian internasional. Dijelaskan mengenai Proses pembuatan
perjanjian internasional dalam pasal 4 yang berbunyi Pemerintah Republik
Indonesia membuat perjanjian internasional dengan satu negara atau lebih,
organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain
berdasarkan kesepakatan, dan para pihak berkewajiban untuk melaksanakan
perjanjian tersebut dengan itikad baik, mengenai Pengesahan perjanjian
internasional dilakukan dengan undang- undang, pemberlakuan perjanjian
internasional hingga pengakhiran perjanjian internasional.
Intensitas kerjsama antara indonesia dengan negara-negara lain, baik bilateral
maupun multilateral, dalam rangka pelaksanaan hubungan dan politik luar negeri
semenjak beberapa dekade ini mengalami peningkatan yang sangat cepat.
meningkatnya hubungan dan kerjasam tersebut, memerlukan adanya
pengaturan-pengaturan mengenai kegiatan hubungan luar negeri yang jelas,
terkoordinasi dan terpadu serta mempunyai kepastian hukum. agar tercapai hasil
yang meksimal dalam pelaksanaan hubungan luar negeri yang melibatkan berbagai
lembaga dan instansi pemerintah beserta perangkatnya, diperlukan adanya
koordinasi antar departemen dan perwakilan Republik Indonesia dengan departemen
luar negeri. Pengaturan mengenai penyelenggaraan hubungan luar negeri dan
pelaksanaan politik luar negeri, pembuatan dan pengesahan perjanjian
internasional terdapat norma baru yaitu lembaga negara dan lembaga pemerintah
baik departemen maupun non departemen yang mempunyai rencana membuat perjanjian
internasional, terlebih dahulu melakukan konsultasi mengenai rencana tersebut
dengan menteri luar negeri (pasal 13).
Hak ekonomi ini
dalam hukum internasional kini adalah salah satu hak yang cukup mendasar. HAM
memang mengatur tentang perlindungan hak-hak pribadi, namun fokus perhatian
masyarakat internasional lebih berpihak pada perlindungan hak-hak sipil dan
politik. warga negara harus dilindungi dalam hal pemenuhan hak atas pangan, hak
atas kesehatan, hak atas pendidikan, hak atas rumah dan hak-hak lainnya sebagai
manusia yang bermartabat. Pemenuhan hak-hak yang merupakan bagian dari
hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) tadi oleh negara makin kuat dasar
hukumnya setelah Indonesia meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak
ekosob, 28 Oktober 2005 melalui undang-undang No 11 Tahun 2005.
Dengan meratifikasi kovenan tadi, Indonesia harus melakukan proses
harmonisasi, internalisasi dan implementasi isi kovenan dalam peraturan
perundangan yang ada dan akan dibuat serta mewujudkan pemenuhan hak ekosob
kepada semua warga negara.
Indonesia sejak
proklamasi Kemerdekaan 1945, sudah mengadakan interaksi dengan Negara maupun
Organisasi Internasional, yang tunduk pada Hukum Internasional. Indonesia sudah
terlibat dalam pembuatan berbagai Perjanjian Internasional. Permasalahan yang
dihadapi adalah bagaimana sikap Indonesia terhadap keberadaan Hukum
Internasional, dan bagaimana Indonesia menerapkan Hukum Internasional, termasuk
didalamnya Perjanjian Internasional.
Pada tahun
1969, 1978 dan 1986. Indonesia menetapkan bahwa yang mempunyai kapasitas untuk
membuat Perjanjian Internasional adalah Presiden. Sekarang Indonesia mempunyai
Undang-Undang mengenai Perjanjian Internasional yakni Undang-Undang No. 24
Tahun 2000.
Pasal 13 UUD
1945 menunjukkan kesediaan Indonesia mengakui keberadaan Hukum Diplomatik, yang
juga masih berupa Hukum Kebiasaan Internasional. Hukum tentang hubungan
diplomatik dan konsuler dituangkan dalam Perjanjian Internasional baru tahun
1961, 1963, 1969, 1973, 1975 dan 1979. Indonesia menetapkan bahwa Presiden
mempunyai kapasitas untuk mengangkat dan menerima duta dan konsul. Sekarang
Indonesia sudah memiliki Undang-Undang No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar
Negeri.
Penggolongan
yang tidak kalah penting dalam membahas perjanjian internasional sebagai sumber
hukum formal ialah penggolongan perjanjian dalam treaty contract dan law
making treaties, dengan treaty contract dimaksudkan perjanjian
seperti perjanjian kotrak atau perjanjian dalam hukum perdata, hanya
mengakibatkan hak dan kewajiban antara para pihak yang mengadakan perjanjian
itu, contoh treaty contract demikian misalnya perjanjian mengenai
dwikewarganegaran, perjanjian perbatasan, perjanjian perdagangan, perjanjian
pemberantasan penyelundupan. Dengan law making treaties dimaksudkan
perjanjian yang meletakan ketentuan atau kaidah hukum bagi masyarakat
internasional sebagai keseluruhan. Contoh perjanjian demikian ialah konvensi
tahun 1949 mengenai Perlindungan Korban Perang, Konvensi-konvensi tahun 1958
mengenai hukum laut, konvensi wina tahun 1961 mengenai hubungan diplomatik.
Perbedaan antara treaty contract dan law making treaties jelas
tampak bila dilihat dari para pihak yang tidak turut serta pada perundingan
yang melahirkan perjanjian tersebut. Pihak ketiga umumnya tidak dapat turut
serta dalam treaty contract yang diadakan antara para pihak yang
mengadakan perjanjian itu semula. Perjanjian ini mengatur persoalan yang
semata-mata mengenai pihak-pihak itu. Dengan perkataan lain, pihak ketiga yang
tidak berkepentingan misalnya, Amerika Serikat tidak dapat turut serta dalam
suatu perjanjian mengenai perbatasan dan dwikewarganegaraan antara Singapura dan
Indonesia atau pemberantasan penyeledupan antara Indonesia dan Arab Saudi.
Sebaliknya, suatu perjanjian yang dinamakan law making treaty selalu
terbuka bagi pihak lain yang tadinya tidak turut serta dalam perjanjian, karena
yang diatur oleh perjanjian itu merupakan hal umum mengenai semua anggota
masyarakat internasional. Misalnya, Negara Ghana, Guinea, Tanzania dapat turut
serta dalam Konvensi Jenewa tahun 1949 mengenai perlindungan korban perang,
walaupun negara-negara itu tidak turut dalam Konvensi Jenewa yang menyusun
konvensi-konvensi tersebut. Bahkan, negara-negara tadi pada waktu itu belum
ada.[11]
Kedua
doktrin ini mendudukan hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional
yang diterapkan oleh suatu negara. Doktrin dualisme membedakan antara hukum
nasional dan hukum internasional. Setidaknya ada 3 alasan:
a)
Sumber Hukum: hukum internasional
terdiri dari kebiasaan dan perjanjian internasional yang berkembang dalam
hubungan antarnegara, sedangkan pada hukum nasioanla sumber tersebut adalah
hukum yang berkembang dalam batas wilayah negara itu tersebut;
b)
Obyek hukum: dalam hukum nasioal adalah
para individu di bawah naungan negara, sedangkan dalam hukum internasional
norma yang lahir sebagai produk hubungan antar negara-negara;
c)
Sifat: koordinasi antara subjek hukum
internasional yang berdaulat atau independen tidak di atas para anggotanya yang
berdaulat, sedangkan hukum nasional adalah hukum yang merupakan manifestasi
kedaulatan terhadap warganya.[12]
Dari bebarapa
defenisi dan konsep-konsep mengenai parjanjian internasional terlihat ada
syarat-syarat atau unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk dapat dikatakan
”Sebuah perjanjian internasional”, antara lain:
1.
Adanya persetujuan Internasional
2.
Dilakukan oleh negara-negara
3.
Berbentuk tulisan
4.
Tunduk pada prinsip-prinsip hukum
internasional[13]
Jadi,
pertama-tama termasuk di dalamnya perjanjian antara negara-negara. Disamping
itu, perjanjian antara negara dengan organisasi internasional dan perjanjian
antara organisasi internasional lainnya. Juga dapat dianggap sebagai perjanjian
internasional, perjanjian yang diadakan tahta suci dengan negara-negara,
walaupun yang diatur di dalam perjanjian itu semata-mata urusan gereja dan
bukan urusan kenegaraan, karena Takhta suci merupakan subjek hukum yang diakui
dalam hukum internasional
Sebaliknya, tidak dapat dianggap sebagai perjanjian internasional dalam arti
yang diuraikan diatas perjanjian yang pernah diadakan di zaman lampau antara
serikat-serikat dagang yang besar seperti East India Company dan Verenegde
Oost Indisce Compagnie dengan kepala-kepala negeri bumiputra. Tidak dapat
pula dimasukan ke dalamnya kontrak yang diadakan antara suatu negara dengan
orang perorang baik suatu individu ( natural person) maupun antara suatu
negara dengan suatau badan hukum (legal person), misalnya perusahaan
minyak AS[14]
Secara
yuridis-historis, ratifikasi berarti penegasan (confirmation). Tujuan
ratifikasi adalah membatasi kewenangan wakil-wakil Negara yang ditunjuk mengikuti
tahap perundingan perjanjian internasional, karena kesulitan mengadakan
hubungan yang cepat pada waktu itu, sehingga kepala negara atau pemerintahan
yang bersangkutan tidak dapat mengikuti secara terus menerus setiap tahapan
proses pembuatan perjanjian. Untuk membatasai wewenang wakil yang diutus atau
dikirim, maka perjanjian internasional sebelum berlaku memerlukan proses
ratifikasi yang dilakukan kepala negara sebelum menayatakan mengikatkan diri
pada perjanjian internasional yang dibuat[15].
Salah satu
fungsi Negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam Pasal 31 UUD 1945
disebutkan “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Atas dasar itu
maka pemerintah sebagai penyelenggara negara telah mengemban tugas besar.
Sebuah amanah konstitusi dari rakyat Indonesia. Pendidikan sebagai soko guru
peradaban tentu mempunyai nilai tersendiri di mata semua orang. Keyakinan yang
mendalam bahwa bangsa ini akan menjadi bangsa yang besar dan berperadaban
tinggi jika pondasi masyarakatnya dibangun dengan moralitas dan pendidikan yang
bertanggung jawab.
Posisi
pendidikan tidaklah main-main. Ia bukanlah barang komoditas yang ada harganya
sehingga bernuansa sangat ekonomis. Ataupun bukan pula ibarat modal sehingga
wajar kalau ingin berpendidikan maka harus punya uang yang banyak. Tetapi sudut
pandangnya mengerucut bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab negara dan
masyarakat berhak untuk mendapatkannya dengan kondisi yang layak, bukan
asal-asalan.
Pendidikan pada
dasarnya adalah hak dasar semua warga. Jika pemerintah memang tak mampu membuat
kurikulum yang baik, setidaknya mau melakukan kebijakan yang membuat semua anak
bersekolah
Melalui
undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan kemudian
dikukuhkan dengan meratifikasi hak-hak Ekosob dengan undang-undang no 19 tahun
2005 tentang pendidikan, sebenarnya bangsa Indonesia dalam hal ini pemerintah,
telah memenuhi kewajiban terhadap tindakan akan hak semua masyarakat untuk
memperoleh pendidikan secara layak dan bermutu. Pengakuan atau ratifikasi
hak-hak ekosob oleh suatu negara, pada dasarnya adalah pernyataan komitmen
formal negara untuk memenuhi hak-hak ekosob warga negaranya. Dengan demikian
negara wajib menjadikan tugas pemenuhan hak-hak ekosob tersebut sebagai suatu
agenda dalam pembangunan yang dilaksanakan secara konsisten. Artinya negara
wajib melakukan harmonisasi, dalam bentuk mainstreaming pemenuhan hak ekosob
dalam rencana pembangunan, anggaran, peraturan perundangan, serta implementasi
dalam pelayanan publik ataupun penyediaan barang/jasa lainnya.
Pendidikan
adalah hak dasar kemanusiaan yang harus dapat dinikmati secara layak dan merata
oleh setiap masyarakat. Bahwa pengertian hak asasi manusia merupakan hak dasar
yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng,
dan oleh karena itu, harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak
boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun; maka Negara sebagai
institusi resmi wajib melaksanakannya, memfasilitasi dan meniadakan segala
penghalangnya. Untuk itu, pendidikan yang bermutu.
Sebagaimana
yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 yang meliputi:
a. standar isi;
b. standar proses;
c. standar
kompetensi lulusan;
d. standar
pendidik dan tenaga kependidikan;
e. standar sarana
dan prasarana;
f. standar
pengelolaan;
g. standar
pembiayaan dan
h. standar
penilaian pendidikan, adalah hak setiap masyarakat (warga negara) usia belajar.
Dengan
direalisasikannya undang-undang No. 20 tahun 2003, yang pada pasal 29
menyebutkan: “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan
kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negera
(APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) dan diundangkannya undang-undang no. 19 tahun 2005
tentang standart pendidikan Nasional adalah realisasi kewajiban terhadap tindakan
yang harus dilaksanakan oleh pemerintah.
F. Metode Penelitian
1. Spesifikasi
Penelitian
Spesifikasi
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif.
2. Pendekatan
Penelitian ini
dilakukan dengan menggunakan pendekatan:
a. Pendekatan
sejarah.
Pendekatan sejarah dilakukan dalam
penelitian ini guna mengetahui dan meneliti norma-norma hukum Perjanjian
Internasional dalam perkembangan dan perubahan kedudukannya sebagai sumber
hukum. Juga memahami filosfi dari aturan hukum dari waktu ke waktu. Disamping
peneliti juga dapat memahami perubahan dan perkembangan filosofi yang melandasi
aturan hukum tersebut.[16]
b. Pendekatan
perundang-undangan.
Dalam metode pendekatan
perundang-undangan peneliti perlu memahami hirarki, dan asas dalam peraturan
perundang-undangan tahun 2004, pengaturan perundang-undangan adalah peraturan
tertulis oleh lembaga yang berwenang dan mengikat secara umum. Dari pengertian
tersebut, secara singkat dapat dikatakan bahwa yang dimaksud sebagai statue
berupa legilasi dan regulasi. Jika demikian, pendekatan peraturan
perundang-undanngan adalah pendekatan mengunakan legilasi dan regulasi. Produk[17]
c. Pendekatan
kasus.
Dalam Menggunakan pendekatan kasus,
yang perlu dipahami oleh peneliti adalah ratio decidendi, yaitu
alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai pada putusannya.
Menurut Goodheart, ratio decidendi dapat diketemukan dengan
memerhatikan fakta materiil. Fakta-fakta tersebut berupa orang, tempat dan
segala yang menyertainya asalkan tidak terbukti sebaliknya. Perlunya fakta
materiil tersebut diperhatikan karena baik hakim maupun para pihak akan mencari
aturan hukum yang tepat untuk dapat diterapkan kepada fakta tersebut. Ratio
decidendi inilah yang menunjukan bahwa ilmu hukum merupakan ilmu yang
bersifat perspektif, bukan deskriptif. Sedangkan dictum, yaitu putusannya
merupakan sesuatu yang bersifat deskriptif. Oleh karena itulah pendekatan kasus
bukanlah merujuk kepada dictum putusan pengadilan, melainkan merujuk pada ratio
decidendi.[18]
3. Bahan Hukum.
Sebagai bahan hukum dalam penulisan
skripsi ini adalah penelitian kepustakaan yang merupakan sumeber data sekunder
dengan mempelajari:
1)
Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yang diperoleh
dengan mempelajari peraturan perundang-undangan dan peraturan lain yang
berkaitan dengan ratifikasi
Perjanjian internasional serta akibat
dari ratitfikasi yang terdiri dari:
1.
Undang-undang Dasar 1945
2.
Konvensi Wina 1969 ( Vienna
Convention on The Law of Treaties)
3.
Kovenan Internasional tentang Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Convention on Economic, Social and
Cultural Rights ) 1966
4.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor
11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya (International Convention on Economic, Social and Cultural
Rights)
5.
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000
Tentang Perjanjian Internasional
6.
Undang-undang nomor 20 tahun 2003
tentang sistem pendidikan nasional
2)
Bahan Hukum sekunder
Yaitu diperoleh dengan mempelajari
literature maupun bacaan ilmiah yang ada hubungannya dengan proposal
ini,berupa:
a.
Referensi buku-buku;
b.
Karya ilmiah;
c.
Hasil penelitian
d.
Makalah-makalah
e.
Tulisan-tulisan lain yang berhubungan
dengan objek penelitian.
3)
Bahan Hukum Tertier
1)
Kamus Hukum
2)
Terminologi Hukum
3)
Kamus Besar Bahasa Indonesia
4)
Analisis Hukum
Analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah analisis yuridis kualitatif sedangkan penulisan
dilakukan dengan mempergunakan metode deduktif. Dengan metode deduktif penulis
membahas dari hal-hal yang bersifat umum menuju hal-hal yang khusus. Sedangkan
dengan metode induktif penulis membahas dari hal-hal yang bersifat khusus
menuju hal-hal yang bersifat umum
g.
Sistematika Penelitian
Untuk
memudahkan pembaca mengetehui gambaran skripsi ini secara keseluruhan, berikut
sistematika penulisan bab per bab
Bab pertama,
yaitu pendahuluan. Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang penulisan
yang mengambil masalah ratifikasi perjanjian internasional (International Convention
on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) tentang hak-hak ekonomi,
sosial dan budaya dilihat pengaharmonisasian peraturan dalam hukum positif
Indonesia. Dalambab ini juga terdapat perumusan masalah, tujuan penelitian dan
metode penelitian yang digunakan dalam membahas masalah yang telah diuraikan
tersebut.
Bab Kedua,
yaitu tinjuan pustaka. Dalam bab ini berisikan dasar-dasar hukum yang berkenaan
dengan ratifikasi perjanjian internasional dan telaah mengenai kaidah-kaidah
hukum yang berlaku baik nasional maupun internasional
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar